A. Pengertian
Sistem Irigasi Subak
Subak merupakan sistem irigasi yang
di dalamnya menyangkut masyarakat hukum adat yang memiliki karakteristik
sosio-agraris-religius, dan merupakan perkumpulan petani yang mengelola air
irigasi di lahan sawah. Banyak ahli yang menjabarkan mengenai pengertian
sistem irigasi subak. Dari konsep pemikiran para ahli tersebut, adapun kajian
mengenai sistem irigasi subak adalah cerminan konsep Tri Hita Karana (THK) yang
pada hakikatnya terdiri dari Parhyangan, Pawongan,
Dan Palemahan. Parhyangan ditunjukkan adanya
pemujaan terhadap pura pada wilayah subak. Pawongan ditandai
dengan adanya organisasi yang mengatur sistem irigasi subak,
dan palemahan yang
ditandai dengan kepemilikan lahan atau wilayah di setiap subak. Ketiga hal ini
memiliki hubungan yang bersifat timbal balik.
Sebenarnya, sistem irigasi subak
telah ada sebelum sistem pertanian yang berkembang di Bali sejak tahun 678.
Namun, subak tercatat di Bali sejak tahun 1071. Peran serta pengaruh raja-raja
di Bali sangat mempengaruhi perubahan yang terjadi pada sistem irigasi subak
B. Wujud
Tri Hita Karana Dalam Subak
Wujud Tri Hita Karana dalam
sistem irigasi subak di Bali merupakan sistem yang bersifat sosio-teknis, yang
teknologinya sudah menyatu dengan sosio-kultural masyarakat setempat. Adapun
perwujudan konsep THK dalam operasional sistem irigasi subak antara lain :
a. Subsistem
budaya yang dicerminkan dengan pola pikir pengelolaan air irigasi yang
dilandasi dengan keharmonisan dan kebersamaan.
Contoh: Menyelenggarakan
upacara mendak toya, membuat Pura bangunan suci (Bedugul) di lahan
yang tersisa pada lokasi bangunan-bagi.
b. Subsistem
sosial yang dicerminkan dengan adanya organisasi subak yang
disesuaikan dengan kepentingan petani, sehingga tujuan yang diinginkan dapat
tercapai. Dan konflik yang terjadi di dalam subak dapat dihindari agar tercipta
keharmonisan.
Contoh: Pembuatan awig-awig (peraturan)
agar dapat dipatuhi oleh semua anggota dan pengurus subak, adanya rapat yang
dilakukan untuk mencapai kesepakatan bersama.
c. Subsistem
artefak/kebendaan yang dicerminkan dengan ketersediaan sarana jaringan
irigasi yang sesuai dengan kebutuhan subak, pendistribusian air secara adil,
dan proses peminjaman air. Sehingga, konflik-konflik dapat dicegah.
Contoh: Pembagian air menggunakan
sistem tektek, sistem suplesi dan drainasi yang terpisah dalam satu
kompleks sawah yang dikenal dengan “one inlet and one outlet system”,
dan adanya pemberian tambahan air seandainya terjadi suplai air yang kurang di
lahan petani.
C. Kelembagaan
Sistem Subak
Subak merupakan perkembangan dari
beberapa tempek yang memiliki luas areal yang besar
serta sulit untuk dikooordinasikan dan subak memiliki otonomi ke dalam dan ke
luar. Tempek merupakan suatu komplek persawahan yang mendapat
air irigasi dari satu sumber tertentu. Akan tetapi, setiap tempek hanya
memiliki otonomi ke dalam. Subak-subak yang memperoleh air dapat bergabung
menjadi subakgede. Subak gede pun bisa berkembang menjadi subak yang lebih
besar, yaitu subak agung. Subak agung yang ada di Bali terdapat di Subakagung
Yeh Ho di Kabupaten Tabanan dan Subakagung Gangga Luhur di Kabupaten Buleleng.
Selain perkembangan subak, selama ini ternyata terjadi pengurangan luas areal
sawah (ha) dari tahun 1997 hingga 1999 akibat pengaruh globalisasi di Bali.
Akan tetapi, seiring dengan hal tersebut jumlah subak tidak mengalami penurunan
sejak tahun 1997 hingga tahun 1999. Sebab adanya perubahan areal sawah yang
beralih fungsi menjadi hotel dan restoran menjadi pilihan karena dianggap lebih
menguntungkan secara ekonomi. Hal ini tentunya mengancam keberadaan sistem
irigasi di Bali.
D. Aspek
Organisasi Subak
Organisasi subak berbentuk tim kerja
yang berorientasi pada kecapaian tujuan yang diinginkan dalam organisasi subak.
Berkaitan dengan cara sistem subak mengatur penyediaan air, maka pada suatu
subak di daerah tertentu menunjuk seorang petilik (pengawas air)
yang bertugas mengawasi pendistribusian dan alokasi air di kawasan tersebut
secara rutin.
Di dalam subak. peranan pengurus (pekaseh)
subak menentukan keberhasilan subak yang dipimpinnya tersebut. Sebab ia yang
mengatur air irigasi pada saat kondisi air yang kritis, menetapkan hari baik
untuk menanam tanaman tertentu, merencanakan upacara tertentu. Pada dasarnya,
pengurus subak memimpin dan mengendalikan subak sesuai dengan prinsip-prinsip
THK.
Adapun struktur organisasi sistem
subak pada umumnya mampu mengemban tugas-tugas yang telah ditetapkan Disebutkan
bahwa ketua subak (pekaseh) bertugas untuk mengkoordinasikan tugas-tugas ke
luar dan ke dalam yang dibantu oleh sekretaris dan bendahara. Sedangkan kelian
tempek (sub-subak) bertugas untuk mengkoordinasikan tugas-tugas ke dalam (ke
wilayah masing-masing subak), dan tidak memiliki kewenangan berhubungan ke
luar. Sementara peranan sedahan hanya berfungsi dalam pemungutan pajak (Pajak
Bumi dan Bangunan), sedangkan sedahan-agung kini bergabung dengan Kepala Dinas
Pendapatan Daerah Kabupaten/Kota, namun saat ini organisasi subak banyak
berhubungan dengan Dinas Pekerjaan Umum berkaitan dengan pembangunan fisik di
subak yang bersangkutan.
E. Aspek
Ritual
Tradisi serta upacara-upacara
keagamaan di dalam subak terus dilakukan. Untuk melaksanakan upacara-upacara
keagamaan, subak biasanya memungut iuran dari anggota subaknya. Di Bali,
upacara keagamaan ini tidak pernah surut dilakukan karena merupakan faktor
penting dalam sistem subak. Pada hakikatnya, kegiatan-kegiatan yang dilakukan
dalam sistem subak merupakan implementasi dari ajaran Tri Hita Karana.
Sebab, untuk menumbuhkan kelembagaan petani yang kuat, tidak cukup hanya
pendekatan sosio-teknis, tetapi harus dikaitkan pula dengan konteks kehidupan
sosial-budaya masyarakat.
Adapun kegiatan ritual yang biasanya
dilakukan oleh subak antara lain :
- Tingkat
Individual : Upacara mengikuti siklus hidup (life cycle) padi.
Upacara ini dilakukan sejak mulai air masuk ke petak sawah hingga padi
disimpan).
- Ngendagin : Air mulai masuk ke sawah
- Ngurit : Tabur benih/ pembibitan
- Newasen : Tanam padi
- Neduh : Umur padi 35 hari
- Biukukung : Padi bunting
- Banten Manyi : Panen
- Mantenin : Padi disimpan di lumbung
- Tingkat
Tempek, Subak, Subak Gede :
- Mendak toya : mencari air pertama sebelum musim tanam padi
- Mebalik sumpah : mengupacarai padi ketika berumur dua minggu
- Merebu : Dilakukan menjelang panen
- Ngusaba : Dilakukan sehabis panen
- Nangluk merana : Dilakukan upacara ketika padi mulai diserang hama dan penyakit yang dipandang membahayakan
- Pakelem : Dilakukan sewaktu-waktu dan dapat dilakukan bergabung bersama subak lain
- Odalan : Dilakukan diberbagi pura yang disungsung subak (Pura Bedugul, Ulunsui)
F. Aspek
Pendistribusian Air
Sejak akhir tahun 1970-an
proyek-proyek jaringan tersier yang dilaksanakan Dep.PU pada sistem subak di
Bali, dengan mengubah sistem bangunan bagi (tembuku) dari sistem numbak menjadi
sistem ngerirun telah menimbulkan konflik, karena perubahan
itu tidak serasi dengan sosio-kultural masyarakat setempat. Namun demikian
sistem subak sebagai lembaga adat yang otonum tetap dapat mengatur dirinya
sendiri tanpa menimbulkan konflik, karena tetap mengusahakan adanya harmoni
dengan lingkungan sekitar.
Adapun artefak yang dimanfaatkan
oleh sistem subak di Bali untuk membantu kelancaran pendistribusian air ialah
sebagai berikut:
- Bendung
(empelan), yang memiliki fungsi sebagai lokasi tempat masuknya air yang
akan menuju areal subak. Lokasi bendung pada dasarnya ditempatkan pada kawasan
tikungan sungai, pada kawasan sungai yang lokasinya paling dekat dengan
hamparan sawah petani yang bersangkutan. Sementara itu, pada setiap lokasi
bangunan bendung dibangun sebuah pura yang disebut Pura Empelan, yang
dimanfaatkan sebagai tempat pelaksanaan upacara mendak toya/ magpag
toya. Dan penanggungjawab bendung adalah klian subak bersama-sama dengan
seluruh anggota subak.
- Trowongan
(aungan), memiliki fungsi sebagai tempat mengalirnya air irigasi menuju
ke saluran tersier. Trowongan akan dibangun oleh petani jika mereka gagal
memanfaatkan saluran irigasi yang terbuka. Dalam proses pembuatan trowongan
para ahli bangunan (undagi) akan berusaha memilih lintasan trowongan
pada lahan yang terdiri dari batu, batu pada, atau tanah yang cukup keras untuk
menyangga tanah yang ada di atas bangunan. Adapun penanggungjawab bendung
adalah kelian subakbersama-sama dengan seluruh anggota subak.
- Saluran
irigasi (telabah), memiliki fungsi sebagai tempat mengalirnya air
irigasi yag akan menuju ke petak sawah petani. Dan penaggungjawabnya
adalah kelian tempekbersama-sama petani yang berkepentingan dengan
saluran yang bersangkutan.
- Bangunan
bagi (tembuku) pada sistem subak dibangun dengan konsep proporsional
dari bangunan-bagi hulu hingga hilir. Unit ukuran yang digunakan adalah tektek.
Tektek merupakan sistem bagi habis antara jumlah air yang masuk ke
subak yang bersangkutan dengan jumlah areal sawah yang ada di subak
bersangkutan. Sistem tektek di Bali telah mengalami modifikasi (ini terjadi di
Subak Sungsang) menjadi sistem sentimeter. Namun, pelaksanaannya tetap dalam
konsep proporsional. Bangunan-bagi pada jaringan tersier dibuat tidak permanen
agar dapat memudahkan dalam proses pinjam air irigasi.
Di Bali, bangunan-bagi diterapkan
dengan sistem subak karena topografi Pulau Bali umumnya bergelombang, namun ada
beberapa kelemahan dari sistem ini, seperti : adanya kemungkinan kecepakatan
air yang tidak sama pada bangunan-bagi, adanya kemungkinan tenggelamnya
bangunan saluran irigasi di saat tertentu, ada kemungkinan lahan yang digunakan
tidak efisien, jika dibandingkan dengan sistem box, sistem numbak
dirasa lebih efektif.
G. Aspek
Penggunaan Sumber Daya dalam Subak
Umumnya sumber daya yang biasanya
diperlukan dalam subak ialah tenaga kerja dan dana. Untuk tenaga kerja,
biasanya menggunakan tenaga dari anggota subak itu sendiri maupun tenaga dari
luar anggota subak (seperti memakai jasa buruh untuk memanen padi). Untuk dana,
umumnya dihimpun oleh subak secara internal. Adapun sumber dana antara lain :
- Sarin Tahun (iuran
rutin) : besarnya didasarkan atas luas lahan sawah.
- Paturun (iuran
insidental) : besarnya sesuai kebutuhan.
- Kontrak bebek
:
sehabis panen padi, subak mengontrakkan sawahnya kepada pengembala itik
- Pengoot :
iuran anggota pasif
- Dedosan
(denda) :
pelanggaran awig-awig, besarnya diatur di dalam awig-awig
- Bantuan Pemerintah
- Sumbangan sukarela
Dana-dana tersebut digunakan untuk
pemeliharaan fasilitas irigasi subak, perbaikan fasilitas irigasi, pemeliharaan
pura subak, perbaikan pura subak, dan upacara keagamaan.
H. Aspek
Penanganan Konflik
- Adapun sumber
konflik yang biasanya terjadi dalam subak ialah :
1. Masalah air
2. Pola tanam
3. Pepohonan
4. Hewan peliharaan
yang merusak lahan pertanian.
5. Dan lain-lain
- Konflik
ini dapat terjadi :
1. Antar
anggota subak
2. Antar
anggota subak dengan subak
3. Antar
subak
Konflik dapat diatasi oleh subak itu
sendiri dengan cara musyawarah dan merapatkan, mendiskusikan masalah-masalah
yang terjadi antar pihak-pihak terkait.
Sistem Subak Sebagai Sistem Irigasi Masa Depan
Kadek
Fendy Sutrisna
17 Juli 2011
“Museum Subak Mandala Mathika terdapat di desa Sungulan
Tabanan”
SISTEM subak merupakan suatu
warisan budaya Bali yang berupa suatu sistem irigasi yang mengatur pembagian
pengelolaan airnya yang berdasarkan pada pola-pikir harmoni dan kebersamaan yang
berlandaskan pada aturan-aturan formal dan nilai-nilai agama.
Pengelolaan sistem irigasi
konvensional cenderung hanya berdasarkan pada konsep-konsep efisiensi
berdasarkan aturan-aturan formal, dengan pola pikir ekonomik.
Sementara itu, konsep-konsep efektivitas,
nilai-nilai religi, dan pengelolaan sistem irigasi yang berlandaskan harmoni
dan kebersamaan, ditata secara baik dan fleksibel pada sistem subak di Bali
ini.
Latar belakang didirikannya
organisasi ini beberapa ribu tahun yang lalu karena lingkungan topografi dan
kondisi sungai-sungai di Bali yang curam. Hal ini menyebabkan sumber air pada
suatu komplek persawahan petani umumnya cukup jauh dan terbatas.
Untuk dapat menyalurkan air ke
sebuah kompleks persawahan, mereka harus membuat terowongan menembus bukit
cadas. Kondisi inilah yang menyebabkan para petani Bali menghimpun diri dan
membentuk organisasi Subak.
Subak dipimpin oleh seorang Kelian
Subak atau Pekaseh yang mengoordinasi pengelolaan air berdasarkan tata tertib
(Bahasa Bali: awig-awig) yang disusun secara egaliter.
Saat irigasi berjalan baik, mereka
menikmati kecukupan air bersama-sama. Sebaliknya, pada saat air irigasi sangat
kecil, mereka akan mendapat air yang terbatas secara bersama-sama.
Jadwal tanam dilaksanakan secara
ketat. Waktu tanam ditetapkan dalam sebuah kurun tertentu. Umumnya, ditetapkan
dalam rentang waktu dua minggu. Petani yang melanggar akan dikenakan sanksi.
Untuk memperoleh penggunaan air yang
optimal dan merata, air yang berlebihan dapat dibuang melalui saluran drainasi yang
tersedia pada setiap komplek sawah milik petani.
Sementara itu, untuk mengatasi
masalah kekurangan air yang tidak terduga, mereka melakukannya dengan cara-cara
seperti:
- Saling pinjam meminjam air irigasi antar anggota subak dalam satu subak, atau antar subak yang sistemnya terkait.
- Melakukan sistem pelampias, yakni kebijakan untuk memberikan tambahan air untuk lahan sawah yang berada lebih di hilir. Jumlah tambahan air ditentukan dengan kesepakatan bersama.
- Melakukan sistem pengurangan porsi air yang harus diberikan pada suatu komplek sawah milik petani tertentu, bila sawah tersebut telah mendapatkan tirisan air dari suatu kawasan tertentu di sekitarnya.
- Jika debit air irigasi sedang kecil, petani anggota subak tidak dibolehkan ke sawah pada malam hari, pengaturan air diserahkan kepada pengurus Subak.
Kelemahan paling menonjol dari
sistem irigasi tradisional adalah ketidakmampuannya untuk membendung pengaruh
luar yang menggerogoti artefaknya, yang terwujud dalam bentuk alih fungsi
lahan, sehingga eksistensi sistem irigasi tradisional termasuk didalamnya
sistem subak di Bali menjadi terseok-seok.
Beberapa tahun yang lalu, revolusi
hijau telah menyebabkan perubahan pada sistem irigasi tradisional, dengan
adanya varietas padi yang baru dan metode yang baru, para petani harus menanam
padi sesering mungkin, dengan mengabaikan kebutuhan petani lainnya. Metode
yang baru pada revolusi hijau ini pada awalnya menghasilkan hasil
panen yang melimpah, tetapi kemudian diikuti dengan kendala-kendala seperti
kekurangan air, hama dan polusi akibat pestisida baik di tanah maupun di air.
Sistem Subak memiliki karakteristik
unik apabila dibandingkan dengan sistem tradisional lainnya, yaitu selalu
memiliki pura yang dinamakan Pura Uluncarik atau Pura
Bedugul yang khusus dibangun oleh para petani untuk memuja Tuhan.
Keberadaan pura-pura ini sebagai ungkapan rasa syukur dan terimakasih para
petani yang ditujukan untuk memuja Dewi Sri sebagai manifestasi Tuhan YME
sebagai dewi kemakmuran dan kesuburan.
Dengan selalu mengutamakan pola-pikir
harmoni dan kebersamaan yang berlandaskan pada aturan-aturan formal dan
nilai-nilai agama diharapkan sistem irigasi tradisional subak ini dapat
membendung pengaruh luar untuk menjaga eksistensinya di masa yang akan datang.
Permasalahan Masa Kini Sistem Subak
: Pengaruh Faktor Ekonomi
Penelitian yang dilakukan Sigit
Supadmo Arif, dkk. terhadap sistem subak di Bali menunjukkan bahwa faktor
ekonomi sangat mempengaruhi perubahan-perubahan yang terjadi pada lembaga
tersebut. [2,3]
Oleh karenanya, antisipasi yang
harus dilakukan untuk mampu melestarikan sistem subak di Bali adalah dengan
melakukan pendekatan-pendekatan ekonomi.
Misalnya, pertama, memperkuat
lembaga ekonomi seperti koperasi tani, lembaga perkreditan subak, dan lain-lain
yang ada pada sistem subak. Langkah kedua adalah dengan meringankan beban
ekonomi anggota subak. Langkah ketiga adalah dengan berusaha meningkatkan
semangat kerja para pekaseh untuk mengurus pengelolaan sistem irigasi. Hal ini
dapat dilakukan dengan memberikan honorarium bagi para pekaseh.
Dalam kaitan dengan permasalahan
ekonomi ini, tentu saja kemauan politik dan uluran tangan dari pihak Pemprop
Bali sangat penting dalam menjaga keberlangsungan sistem subak di Bali. Sejarah
subak di Bali pada masa kerajaan terdahulu terlihat jelas peranan raja-raja
sangat berpengaruh dalam perkembangan dan keberlangsungan subak untuk
meningkatkan kesejahteraan rakyatnya.
KESIMPULAN
Subak sebagai lembaga yang berwatak
sosio-kultural memiliki kekuatan dan kearifan, yakni fleksibel dan mampu menyerap
teknologi pertanian maupun menyerap kebudayaan yang berkembang pada masyarakat
sekitarnya. Dengan demikian, setiap kegiatan dalam subak selalu
mencerminkan keseimbangan hubungan yang harmonis dan serasi sesama manusia,
manusia dengan lingkungan dan manusia dengan Tuhan Yang Maha Esa yaitu Tri Hita
Karana.
Bali mempunyai potensi besar dalam
bidang pertanian, hal itu dilihat dari posisi geografis dengan empat danau
besar yang mampu memberikan pembagian air secara merata. Tiga buah danau
yang meliputi Danau Beratan, Buyan, dan Tamblingan berfungsi sebagai sumber air
bagi Bali tengah, barat, dan selatan. Sementara Danau Batur di Bangli sebagai
sumber air di Bali timur.
Perkembangan teknologi yang sangat
pesat menyebabkan sistem pertanian di Bali berubah dari sistem tradisional ke
sistem pertanian konvensional, sekaligus tanah yang tadinya subur berubah
menjadi tidak subur karena banyak keanekaragaman hayati hilang. Tanaman
jeruk yang tadinya menjadi tumpuan hidup masyarakat tidak lagi bisa berkembang,
dan mangga yang tadinya manis berubah menjadi masam. Oleh sebab itu,
pengembangan pertanian organik yang dirintis Pemerintah Provinsi Bali akan
mampu mendukung upaya mengembalikan kesuburan tanah, sekaligus pelestarian alam
dan seni budaya, terutama yang terkandung dalam subak.
Tidak ada komentar :
Posting Komentar